Senin, 17 Desember 2012

Contoh Makalah


 Makalah Ilmu Perbandingan Agama

AGAMA DAN ILUSI












Dosen Pembimbing : Muhammad Fahmi, M.Si
Disusun Oleh :
1.             Kholifatus Sa’diya                   (26.10.1.1.011)
2.             M. Luthfi Rijalul Fikri            (26.10.1.1.012)
3.             Mini Lestari                              (26.10.1.1.013)
4.             Munirotun Nisak                     (26.10.1.1.016)



PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2012 



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Sebuah teori monistik yang juga diprakarsai oleh Sigmund Freud berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling dominan hanyalah satu. Akan tetapi, sumber tunggal manakah yang paling dominan tersebut telah terjadi perbedaan pendapat.[1]
Menurut S. Freud sendiri menyatakan, bahwa unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah libido sextcil (naluri seksual).[2]
Libido ini menimbulkan ide ketuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses:
1.             Oedipoes complex, yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta pada ibunya, Oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian demikian berawal dari manusia primitive. Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang  berasal dari masyarakat promiscuitis. Kematian ayah mereka menimbulkan rasa bersalah (sense of guilty) pada diri anak-anak itu.
2.             Father image (citra bapak), setelah mereka membunuh ayah dan dihantui oleh rasa bersalah itu, timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan yang telah mereka lakukan. Kemudian timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh itu Karena khawatir akan pembalasannya. Realisasi dari pemujaan itu, menurutnya, enjadi asal upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud, agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia.
S. Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa. Dan di lingkungannya yang bernama Nashrani, Freud menyaksikan kata “Bapak” dalam untaian doa mereka.

B.            Rumusan Masalah
1.             Definisi Agama dan Ilusi dari berbagai sisi;
2.             Korelasi Agama dan Ilusi;


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Definisi Agama dan Ilusi dari Berbagai Sisi
1.             Definisi Agama
Pengertian agama dapat melahirkan berbagai macam definisi, baik dari segi bahasa  ataupun secara istilah.
a.             Bahasa
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan –bahasa Indonesia pada umumnya- agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya tidak kacau,[3] yaitu
A = tidak
Gama = kacau
Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau.
Di sisi lain, agama juga diambil dari dua akar suku kata,[4] yang diartikan sebagai,
A = ke sini
Gam = gaan, go, gehen = berjalan-jalan
Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum-hukum, pendeknya apa saja yang turun temurun dan dibentuk oleh adat kebiasaan. Sedangkan di Indonesia sendiri diartikan sebaga adat kepercayaa, upacara, pandangan hidup, sopan santun.
Jika melihat sisi inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion –bahasa Inggris-, kemudian religie –bahasa Belanda- yang keduanya berasal dari bahasa Latin, religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat.[5]
Sedangkan dalam bahasa Arab sendiri, agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah.[6] Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti, namun al-din yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditujukan kepada salah satu agama, ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.
Dalam upadeca sendiri tertulis, “Agama itu sebenarnya berasal dari kata sansekerta a dan gam. A artinya tidak dan gam artinya pergi. Jadi kata tersebut berarti ‘tidak pergi’ yang berarti ‘tetap di tempat’, ‘langgeng’, diwariskan secara turun-temurun”.[7]
b.            Pandangan Sosiologi[8]  
Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala social yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Yang mana merupakan salah satu aspek dalam kehidupan social dan bagian dari system social suatu masyarakat sebagai unsur dari kebudayaan di sampan unsur-unsur yang lain.
Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan ssuatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan ndividu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua factor yang ikut membentuk struktur social di masyarakat manapun.
c.             Para Ahli[9]
                                                     i.                   Menurut Cicero (abad 15 SM.), pembuat hukum romawi, “agama adalah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan”, sebagaimana yang dapat di baca dalam bukunya tentang undang-undang.
                                                   ii.                   Emanuel Kant, seorang filosof kritikisme dari Jerman, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal, mengatakan bahwa “agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah Tuhan”.
                                                 iii.                   Herbert Spencer, sosiolog dari Inggris, dalam bukunya, Principles of sociologi, berpendapat bahwa factor utama dalam agama iman akan adanya kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu atau tempatnya.
                                                 iv.                   E.B. Taylor, salah seorang ahli antropologi budaya, dalam bukunya the primitive culture menulis: “religion is beliefe in spiritual being; agama adalah keyakinan tentang adanya makhluk spiritual (roh-roh)”.
                                                   v.                   Max Muller beranggapan bahwa agama itu pada intinya untuk menyatakan apa yang mungkin digambarkan. Menurutnya, mengenal Tuhan adalah kesempurnaan mutlak yang tiada terbatas, atau cinta kepada Tuhan yang sebenarnya.
                                                 vi.                   Emile Burnaof, menurutnya, “agama adalah ibadah”, dan ibadah itu amaliah campuran. “Agama merupakan amaliah akal yang manusia mengakui adanya kekuatan yang mahatinggi; juga amaliah hati manusia yang ber-tawajjuh untuk memohon rahmat dari kekkuatan tersebut”.
                                               vii.                   James Redfield, dalam satu bukunya mengenai pengantar sejarah agama, mengatakan bahwa “agama adalah pengarahan manusia agar tingkah lakunya sesuai dengan perasaan tentang adanya hubungan  antara jiwanya dan jiwa tersembunyi, yang diakui kekuasaannya oleh dirinya  dan atas sekalian alam, dan dia rela merasa berhubungan seperti itu”.
                                             viii.                   Guyao mengatakan, “agama adalah gambaran umum di seluruh dunia tentang bentuk persatuan umat manusia; dan perasaan keagamaan adalah perasaan mengenai keterlibatan kita dengan kehendak-kehendak lain, yang oleh manusia primitive di pusatkan pada alam”.
d.            Agama-Agama[10]
                                                     i.                   Agama Hindu
Dalam ajaran Hindu “agama” mengandung pengertian satya (kebenaran yang absolut), arta (dharma atau perundang-undangan yang mengatur hidup manusia), diksa (penyucian), tapa (semua perbuatan suci), brahmana (do’a atau mantra-mantra), dan yajna (kurban). Pengertian lain jug adisebut sebagai dharma:
“Dharma atau kebenaaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia. Agama adalah kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi yang kekal dan abadi”.[11]
                                                   ii.                   Agama Budha
Ven C. Nyanasatta T dalam tulisannya menerangkan pengertian agama yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam kamus Oxford yaitu:
“suatu kepercayaan dan persujudan atau pengakuan manusia akan adanya Gaya-Pengendalian yang istimewa dan terutama dari suatu manusia yang harus ditaati dan pengaruh pemujaan tadi atas perilaku mnausia”.[12]
Dari arti yang lebih luas lagi, “agama” dapat ditafsirkan sebagai:
 “suatu badan dari pelajaran kesusilaan dan filsafat dan pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran yang diakui baik”. Dalam hal demikian, ajaran sang Budha itu adalah suatu agama, dan umat buddhis memiliki suatu agama yang sangat mulia untuk dianutnya.
Selain itu, agama juga dikatakan sebagai cara tertentu untuk pemujaan kepada para dewa, dewa agung.[13]
                                                 iii.                   Agama Islam
o      Menurut Prof. KHM. Taib Thahir Abdul Mu’in, agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan Tuahan dengan kehendaknya seendiri, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat.
o      Menurut Hadidjah Salim, agama adalah peraturan Allah SWT yang diturunkan-Nya kepada rasul-rasul-Nya yang telah lalu, yang berisi suruhan, larangan, dan sebagianya yang wajib dibuat oleh umat manusia dan menjadi pedoman serta pegangan hidup agar selamat duni adan akhirat. Agama adalah kendali hidup, dan barang siapa hidupnya tak terkendalikan niscaya manusia itu akan terjerumus dan tak akan menentu arah tujuannya, maka membahayakan kepada diri mereka sendiri.[14]
o      Haji Agus Salim, dalam buku kecilnya, Tauhid, mengatakan:
 “agama ialah ajaran tentang kewajiban dan kepatuhan terhadap aturan, petunjuk, perintah, yang diberikan Allah kepada manusia lewat aturan-aturan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya diajarkan kepada orang-orang dengan pendidikan dan tauladan”.[15]
                                                 iv.                   Agama Kristen Katholik
Agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan yang suci. Terhadap yang suci ini manusia kurang pantas, sama sekali tergantung, takut atau takwa karena sifatnya yang dahsyat (tremendum), tetapi manusia sekaligus merasa pula tertarik kepadanya karena sifat-sifatnya yang mempesonakan (fascinosum).
Kedua aspek ini diungkapkan dalam bahasa jawa “wedi asih”. Manusia insaf akan adanya suatu kekuasaan yang melabihi segala-galanya dan sangat penting untuk keselamatannya.
e.             Psikologi Agama
Agama adalah pengakuan pribadi terhadap yang dihayati sebagai “Yang Adi Insani/Super Human” yang menggejala dalam penghayatan dan tingkah laku orang ynag bersangkutan, lebih-lebih kalau usahanya untuk menyelaraskan dengan Yang Adi Insani itu.[16]

2.             Definisi Ilusi
Dari segi bahasa, ilusi berasal dari bahasa Latin, illusio yang berarti cemooh, illudere yang berarti mencemoohkan, menggaburkan, dan menyesatkan. Ilusi juga bisa berarti tidak dapat dipercaya atau palsu.
Selain itu, ilusi juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan atau dengan kata lain adalah khayalan. Ilusi adalah suatu persepsi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara abtrak. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang belum tentu benar dari suatu rangsangan pada panca indera.
Contoh:
seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi ini dapat disebabkan oleh bermacam-macam bentuk, yaitu ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), dan gustatorik (pengecapan).
Ilusi adalah angan-angan imajinasi seseorang dalam beragama. (Suharto, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Ushuluddin, Ilmu Perbandingan Agama (IPA))

B.            Korelasi Agama dan Ilusi
Menurut Suharto, mahasiswa UMS, Ushuluddin, IPA, Agama dan ilusi memang tidak secara langsung berhubungan, tetapi di satu sisi, agama dan ilusi memiliki sebuah kesinambungan, Agama sebagai sandaran dan ilusi sebagai cita-cita.
Dalam hal ini, ilusi yang ditimbulkan bisa berupa hasil perenungan beragama yang menghasilkan sebuah imajinasi atau ide.
Contoh:
1.    Dalam agama Kristen
Adanya trinitas Tuhan bapak, anak, dan ibu, yang mereka yakini,  memunculkan adanya angan-angan tentang keselamatan bersama Tuhan-Tuhan yang mereka yakini tersebut.
2.    Dalam agama islam
Dalam islam ada perintah sholat tahajud (sunnah), dan jika dikerjakan, maka memunculkan sebuah keinginan akan terkabulnya atau ter-ijabah-inya sebuah doa yang dipanjatkan.
Sedangkan menurut Sigmund Freud, agama lahir dari sebuah ilusi (khayalan) manusia tentang apa yang tidak diinginkan oleh mereka. Agar apa yang tidak diinginkan oleh mereka itu tidak terjadi, mereka melakukan sebuah ritual-ritual tertentu yang sifatnya menolak atau sebagai tolak balak.
Dari ritual-ritual yang mereka bentuk itu, berubahlah menjadi sebuah agama. Yang dimaksud di sini, agama didefinisikan sebagai sebuah peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum, atau apa saja yang turun-temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan, kepercayaan, upacara, dan sebagainya.




BAB III
PENUTUP

       I.            Definisi Agama dan Ilusi
Dalam kajian ilmu social tidak ada pengertian atau definisi yang sifatnya tunggal, semuanya bersifat multiperspektif. Begitu juga dengan agama. Agama memiliki sekian banyak definisi, dengan sudut pandang yang berbeda-beda pula, seperti:
o      Agama menurut bahasa, berasal dari dua kata a dan gama, yang berarti tidak kacau. Kemudian, agama berasal dari kata religion –bahasa inggris-, religie –bahasa Belanda-, religio –bahasa Latin- dari akar kata religare yang berarti mengikat.
o      Agama menurut istilah (apa yang bisa ditangkap oleh penulis), merupakan sebuah gejala social yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat di manapun, yang berisi tentang aturan-aturan yang sifatnya mengikat tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Sedangkan untuk definisi ilusi sendiri adalah:
o      Dari segi bahasa, ilusi berasal dari kata illusio –bahasa Latin-  yang artinya cemooh, illedere yang artinya mencemoohkan.
o      Dari segi istilah, ilusi diartikan sebagai sebuah angan-angan, khayalan, imajinasi, sebagai bentuk kontak panca indera terhadap sebuah stimulus yang muncul.

    II.            Korelasi Agama dan Ilusi
Dari keterangan yang telah dijelaskan sebelumnya, agama dan ilusi ternyata memiliki sebuah kesinambungan, baik sebelum agama terbentuk, ataupun setelah agama terbentuk.
Sebelum agama terbentuk, ilusi lahir dari adanya ritual-ritual, yang nantinya akan menjadi isi dari ajaran agama. Sedangkan, setelah agama terbentuk, ilusi merupakan sebuah cita-cita (angan-angan masa depan yang bersifat eskatologi).





DAFTAR PUSTAKA

Kahma, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Rosda Karya.
Manaf, Mujahid Abdul. 2006. Sejarah Agama-Agama. Surakarta: UNS Press.
Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia.
Amstrong, Karen. 2007. Seajarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Bandung: Mizan Media Utama.


[1] Drs. Bambang Syamsul Arifin, M. Si., Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Bab 3 tentang Sumber Kejiwaan Agama, hlm. 38.
[2] Drs. Bambang Syamsul Arifin, M. Si., Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Bab 3 tentang Sumber Kejiwaan Agama, hlm. 39
[3] Dr. H. Dadang Kahma, M.Si., Sosiologi Agama, Rosda karya, Bandung, 2000, dalam Bab 3 tentang Agama dan Religi, hlm. 13.
[4] Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta, 2006,  dalam Bab 1 Pendahuluan, hlm. 1.
[5] Opcit.
[6] Lihat Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 7: “bagimu al-din kamu dan bagiku al-din aku”.
[7] Parisadha Hindu Dharma, Upadeca, PT Upada Sastra, Denpasar, 1968, hlm. 8.
[8] Dr. H. Dadang Kahma, M.Si., Sosiologi Agama, Rosda karya, Bandung, 2000, dalam Bab 3 tentang Agama dan Religi, hlm. 14.
[9] Ibid. hlm. 16-17 .
[10] Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Surakarta, 2006,  dalam Bab 1 Pendahuluan, hlm. 2-4.
[11] Gede Pudja, M.A., S.H., Weda Parikrama Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Depag, RI, Jakarta,tt, hlm. 24.
[12] Ven. C. Nyanasatta T, “Apakah Agama Itu”, dalam majalah Buddhis No. 13, Januari 1960.
[13] Ven. C. Nyanasatta T, “Apakah Agama Itu”, dalam majalah Buddhis No. 13, Januari 1960, hlm 20.
[14] Hadidjah Salim, Apa Arti Hidup, Al-Ma’arif, Bandung, tt, hlm 52.
[15] Haji Agus Salim, Tauhid, Taqdir dan Tawakal, Tintamas, Jakarta, 1967, hlm. 6.
[16] “Kuliah Psikologi Agama” di Sekolah Tinggi Kateketik, Yogyakarta, 1971, Dra. Ong Widhiarti, M. Sc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar