Makalah Ilmu Perbandingan Agama
AGAMA
DAN ILUSI
Dosen
Pembimbing : Muhammad Fahmi, M.Si
Disusun
Oleh :
1.
Kholifatus Sa’diya (26.10.1.1.011)
2.
M. Luthfi Rijalul Fikri (26.10.1.1.012)
3.
Mini Lestari (26.10.1.1.013)
4.
Munirotun Nisak (26.10.1.1.016)
PROGRAM
STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT
AGAM ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebuah
teori monistik yang juga diprakarsai oleh Sigmund Freud
berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling dominan hanyalah satu. Akan
tetapi, sumber tunggal manakah yang paling dominan tersebut telah terjadi
perbedaan pendapat.[1]
Menurut
S. Freud sendiri menyatakan, bahwa unsur kejiwaan yang menjadi sumber kejiwaan
agama adalah libido sextcil (naluri seksual).[2]
Libido
ini menimbulkan ide ketuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses:
1.
Oedipoes complex,
yakni mitos Yunani kuno yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta pada
ibunya, Oedipoes membunuh ayahnya. Kejadian demikian berawal dari manusia primitive.
Mereka bersekongkol untuk membunuh ayah yang
berasal dari masyarakat promiscuitis. Kematian ayah mereka
menimbulkan rasa bersalah (sense of guilty) pada diri anak-anak itu.
2.
Father image
(citra bapak), setelah mereka membunuh ayah dan dihantui oleh rasa bersalah
itu, timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan ide untuk membuat
suatu cara sebagai penebus kesalahan yang telah mereka lakukan. Kemudian
timbullah keinginan untuk memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh itu Karena
khawatir akan pembalasannya. Realisasi dari pemujaan itu, menurutnya, enjadi
asal upacara keagamaan. Jadi, menurut Freud, agama muncul dari ilusi (khayalan)
manusia.
S.
Freud bertambah yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian
setiap agama terhadap dosa. Dan di lingkungannya yang bernama Nashrani, Freud
menyaksikan kata “Bapak” dalam untaian doa mereka.
B.
Rumusan Masalah
1.
Definisi Agama dan Ilusi dari berbagai
sisi;
2.
Korelasi Agama dan Ilusi;
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Agama dan Ilusi dari
Berbagai Sisi
1.
Definisi Agama
Pengertian agama dapat melahirkan berbagai macam
definisi, baik dari segi bahasa ataupun
secara istilah.
a.
Bahasa
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan –bahasa Indonesia
pada umumnya- agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta
yang artinya tidak kacau,[3]
yaitu
A
= tidak
Gama
= kacau
Sehingga
dapat ditarik pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur
kehidupan manusia agar tidak kacau.
A
= ke sini
Gam
= gaan, go, gehen = berjalan-jalan
Sehingga
dapat berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum-hukum,
pendeknya apa saja yang turun temurun dan dibentuk oleh adat kebiasaan. Sedangkan
di Indonesia sendiri diartikan sebaga adat kepercayaa, upacara, pandangan
hidup, sopan santun.
Jika melihat sisi inti maknanya yang khusus, kata
agama dapat disamakan dengan kata religion –bahasa Inggris-, kemudian religie
–bahasa Belanda- yang keduanya berasal dari bahasa Latin, religio, dari
akar kata religare yang berarti mengikat.[5]
Sedangkan dalam bahasa Arab sendiri, agama dikenal
dengan kata al-din dan al-milah.[6]
Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti, namun al-din yang berarti agama
adalah nama yang bersifat umum. Artinya, tidak ditujukan kepada salah satu
agama, ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini.
Dalam upadeca sendiri tertulis, “Agama itu
sebenarnya berasal dari kata sansekerta a dan gam. A artinya
tidak dan gam artinya pergi. Jadi kata tersebut berarti ‘tidak pergi’ yang
berarti ‘tetap di tempat’, ‘langgeng’, diwariskan secara turun-temurun”.[7]
Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala social
yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa
terkecuali. Yang mana merupakan salah satu aspek dalam kehidupan social dan
bagian dari system social suatu masyarakat sebagai unsur dari kebudayaan di sampan
unsur-unsur yang lain.
Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi, dapat
diketahui bahwa agama merupakan ssuatu pandangan hidup yang harus diterapkan
dalam kehidupan ndividu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling
mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua factor yang ikut membentuk
struktur social di masyarakat manapun.
i.
Menurut Cicero (abad 15 SM.), pembuat
hukum romawi, “agama adalah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan
Tuhan”, sebagaimana yang dapat di baca dalam bukunya tentang undang-undang.
ii.
Emanuel Kant, seorang filosof kritikisme
dari Jerman, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal,
mengatakan bahwa “agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah
Tuhan”.
iii.
Herbert Spencer, sosiolog dari Inggris,
dalam bukunya, Principles of sociologi, berpendapat bahwa factor utama
dalam agama iman akan adanya kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak
bisa digambarkan batas waktu atau tempatnya.
iv.
E.B. Taylor, salah seorang ahli
antropologi budaya, dalam bukunya the primitive culture menulis: “religion
is beliefe in spiritual being; agama adalah keyakinan tentang adanya
makhluk spiritual (roh-roh)”.
v.
Max Muller beranggapan bahwa agama itu
pada intinya untuk menyatakan apa yang mungkin digambarkan. Menurutnya,
mengenal Tuhan adalah kesempurnaan mutlak yang tiada terbatas, atau cinta
kepada Tuhan yang sebenarnya.
vi.
Emile Burnaof, menurutnya, “agama adalah
ibadah”, dan ibadah itu amaliah campuran. “Agama merupakan amaliah akal yang
manusia mengakui adanya kekuatan yang mahatinggi; juga amaliah hati manusia
yang ber-tawajjuh untuk memohon rahmat dari kekkuatan tersebut”.
vii.
James Redfield, dalam satu bukunya mengenai
pengantar sejarah agama, mengatakan bahwa “agama adalah pengarahan manusia agar
tingkah lakunya sesuai dengan perasaan tentang adanya hubungan antara jiwanya dan jiwa tersembunyi, yang
diakui kekuasaannya oleh dirinya dan
atas sekalian alam, dan dia rela merasa berhubungan seperti itu”.
viii.
Guyao mengatakan, “agama adalah gambaran
umum di seluruh dunia tentang bentuk persatuan umat manusia; dan perasaan
keagamaan adalah perasaan mengenai keterlibatan kita dengan kehendak-kehendak
lain, yang oleh manusia primitive di pusatkan pada alam”.
i.
Agama Hindu
Dalam
ajaran Hindu “agama” mengandung pengertian satya (kebenaran yang
absolut), arta (dharma atau perundang-undangan yang mengatur hidup
manusia), diksa (penyucian), tapa (semua perbuatan suci), brahmana
(do’a atau mantra-mantra), dan yajna (kurban). Pengertian lain jug
adisebut sebagai dharma:
“Dharma
atau kebenaaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia. Agama
adalah kepercayaan hidup pada ajaran-ajaran suci yang diwahyukan oleh Sang
Hyang Widhi yang kekal dan abadi”.[11]
ii.
Agama Budha
Ven
C. Nyanasatta T dalam tulisannya menerangkan pengertian agama yang sejalan
dengan apa yang terdapat dalam kamus Oxford yaitu:
“suatu
kepercayaan dan persujudan atau pengakuan manusia akan adanya Gaya-Pengendalian
yang istimewa dan terutama dari suatu manusia yang harus ditaati dan pengaruh
pemujaan tadi atas perilaku mnausia”.[12]
Dari
arti yang lebih luas lagi, “agama” dapat ditafsirkan sebagai:
“suatu badan dari pelajaran kesusilaan dan
filsafat dan pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran yang diakui
baik”. Dalam hal demikian, ajaran sang Budha itu adalah suatu agama, dan umat
buddhis memiliki suatu agama yang sangat mulia untuk dianutnya.
Selain
itu, agama juga dikatakan sebagai cara tertentu untuk pemujaan kepada para
dewa, dewa agung.[13]
iii.
Agama Islam
o
Menurut Prof. KHM. Taib Thahir Abdul Mu’in,
agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal,
memegang peraturan Tuahan dengan kehendaknya seendiri, untuk mencapai kebaikan
hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat.
o
Menurut Hadidjah Salim, agama adalah
peraturan Allah SWT yang diturunkan-Nya kepada rasul-rasul-Nya yang telah lalu,
yang berisi suruhan, larangan, dan sebagianya yang wajib dibuat oleh umat
manusia dan menjadi pedoman serta pegangan hidup agar selamat duni adan
akhirat. Agama adalah kendali hidup, dan barang siapa hidupnya tak
terkendalikan niscaya manusia itu akan terjerumus dan tak akan menentu arah
tujuannya, maka membahayakan kepada diri mereka sendiri.[14]
o
Haji Agus Salim, dalam buku kecilnya, Tauhid,
mengatakan:
“agama ialah ajaran tentang kewajiban dan
kepatuhan terhadap aturan, petunjuk, perintah, yang diberikan Allah kepada
manusia lewat aturan-aturan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya diajarkan kepada
orang-orang dengan pendidikan dan tauladan”.[15]
iv.
Agama Kristen Katholik
Agama
adalah segala bentuk hubungan manusia dengan yang suci. Terhadap yang suci ini
manusia kurang pantas, sama sekali tergantung, takut atau takwa karena sifatnya
yang dahsyat (tremendum), tetapi manusia sekaligus merasa pula tertarik
kepadanya karena sifat-sifatnya yang mempesonakan (fascinosum).
Kedua
aspek ini diungkapkan dalam bahasa jawa “wedi asih”. Manusia insaf akan adanya
suatu kekuasaan yang melabihi segala-galanya dan sangat penting untuk
keselamatannya.
e.
Psikologi Agama
Agama adalah pengakuan pribadi terhadap yang
dihayati sebagai “Yang Adi Insani/Super Human” yang menggejala dalam
penghayatan dan tingkah laku orang ynag bersangkutan, lebih-lebih kalau
usahanya untuk menyelaraskan dengan Yang Adi Insani itu.[16]
2.
Definisi Ilusi
Dari segi bahasa, ilusi berasal dari bahasa Latin, illusio yang berarti
cemooh, illudere yang berarti mencemoohkan, menggaburkan, dan
menyesatkan. Ilusi juga bisa berarti tidak dapat dipercaya atau palsu.
Selain itu, ilusi juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan atau
dengan kata lain adalah khayalan. Ilusi adalah suatu persepsi panca indera
yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara abtrak. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang belum tentu benar dari suatu rangsangan pada panca indera.
Contoh:
“seorang
penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara
gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada
saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi,
baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat
adiktif.”
Ilusi ini dapat
disebabkan oleh bermacam-macam bentuk, yaitu ilusi visual
(penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), dan gustatorik
(pengecapan).
Ilusi adalah angan-angan imajinasi
seseorang dalam beragama. (Suharto, mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS), Ushuluddin, Ilmu Perbandingan Agama (IPA))
B.
Korelasi Agama dan Ilusi
Menurut Suharto, mahasiswa UMS, Ushuluddin, IPA, Agama
dan ilusi memang tidak secara langsung berhubungan, tetapi di satu sisi, agama
dan ilusi memiliki sebuah kesinambungan, Agama sebagai sandaran dan ilusi
sebagai cita-cita.
Dalam hal ini, ilusi yang ditimbulkan bisa berupa
hasil perenungan beragama yang menghasilkan sebuah imajinasi atau ide.
Contoh:
1. Dalam
agama Kristen
Adanya
trinitas Tuhan bapak, anak, dan ibu, yang mereka yakini, memunculkan adanya angan-angan tentang
keselamatan bersama Tuhan-Tuhan yang mereka yakini tersebut.
2. Dalam
agama islam
Dalam
islam ada perintah sholat tahajud (sunnah), dan jika dikerjakan, maka
memunculkan sebuah keinginan akan terkabulnya atau ter-ijabah-inya
sebuah doa yang dipanjatkan.
Sedangkan menurut Sigmund Freud, agama lahir dari
sebuah ilusi (khayalan) manusia tentang apa yang tidak diinginkan oleh mereka. Agar
apa yang tidak diinginkan oleh mereka itu tidak terjadi, mereka melakukan
sebuah ritual-ritual tertentu yang sifatnya menolak atau sebagai tolak balak.
Dari ritual-ritual yang mereka bentuk itu,
berubahlah menjadi sebuah agama. Yang dimaksud di sini, agama didefinisikan
sebagai sebuah peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum, atau
apa saja yang turun-temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan, kepercayaan,
upacara, dan sebagainya.
BAB
III
PENUTUP
I.
Definisi Agama dan Ilusi
Dalam
kajian ilmu social tidak ada pengertian atau definisi yang sifatnya tunggal,
semuanya bersifat multiperspektif. Begitu juga dengan agama. Agama memiliki
sekian banyak definisi, dengan sudut pandang yang berbeda-beda pula, seperti:
o
Agama menurut bahasa, berasal dari dua
kata a dan gama, yang berarti tidak kacau. Kemudian, agama
berasal dari kata religion –bahasa inggris-, religie –bahasa
Belanda-, religio –bahasa Latin- dari akar kata religare yang
berarti mengikat.
o
Agama menurut istilah (apa yang bisa
ditangkap oleh penulis), merupakan sebuah gejala social yang umum dan dimiliki
oleh seluruh masyarakat di manapun, yang berisi tentang aturan-aturan yang
sifatnya mengikat tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Sedangkan
untuk definisi ilusi sendiri adalah:
o
Dari segi bahasa, ilusi berasal dari
kata illusio –bahasa Latin- yang
artinya cemooh, illedere yang artinya mencemoohkan.
o
Dari segi istilah, ilusi diartikan
sebagai sebuah angan-angan, khayalan, imajinasi, sebagai bentuk kontak panca indera
terhadap sebuah stimulus yang muncul.
II.
Korelasi Agama dan Ilusi
Dari
keterangan yang telah dijelaskan sebelumnya, agama dan ilusi ternyata memiliki
sebuah kesinambungan, baik sebelum agama terbentuk, ataupun setelah agama
terbentuk.
Sebelum
agama terbentuk, ilusi lahir dari adanya ritual-ritual, yang nantinya akan
menjadi isi dari ajaran agama. Sedangkan, setelah agama terbentuk, ilusi
merupakan sebuah cita-cita (angan-angan masa depan yang bersifat eskatologi).
DAFTAR
PUSTAKA
Kahma, Dadang. 2000. Sosiologi
Agama. Bandung: Rosda Karya.
Manaf, Mujahid Abdul. 2006. Sejarah
Agama-Agama. Surakarta: UNS Press.
Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi
Agama. Bandung: Pustaka Setia.
Amstrong, Karen. 2007. Seajarah
Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen,
dan Islam. Bandung: Mizan Media Utama.
[1]
Drs. Bambang Syamsul Arifin, M. Si., Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung,
2008, Bab 3 tentang Sumber Kejiwaan Agama, hlm. 38.
[2]
Drs. Bambang Syamsul Arifin, M. Si., Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung,
2008, Bab 3 tentang Sumber Kejiwaan Agama, hlm. 39
[3]
Dr. H. Dadang Kahma, M.Si., Sosiologi Agama, Rosda karya, Bandung, 2000,
dalam Bab 3 tentang Agama dan Religi, hlm. 13.
[4]
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, UPT Penerbitan dan Percetakan
UNS (UNS Press), Surakarta, 2006, dalam
Bab 1 Pendahuluan, hlm. 1.
[5]
Opcit.
[6]
Lihat Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 7: “bagimu al-din kamu dan bagiku al-din
aku”.
[7]
Parisadha Hindu Dharma, Upadeca, PT Upada Sastra, Denpasar, 1968, hlm. 8.
[8]
Dr. H. Dadang Kahma, M.Si., Sosiologi Agama, Rosda karya, Bandung, 2000,
dalam Bab 3 tentang Agama dan Religi, hlm. 14.
[9]
Ibid. hlm. 16-17 .
[10]
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, UPT Penerbitan dan Percetakan
UNS (UNS Press), Surakarta, 2006, dalam
Bab 1 Pendahuluan, hlm. 2-4.
[11]
Gede Pudja, M.A., S.H., Weda Parikrama Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu
Depag, RI, Jakarta,tt, hlm. 24.
[12]
Ven. C. Nyanasatta T, “Apakah Agama Itu”, dalam majalah Buddhis No. 13, Januari
1960.
[13]
Ven. C. Nyanasatta T, “Apakah Agama Itu”, dalam majalah Buddhis No. 13, Januari
1960, hlm 20.
[14]
Hadidjah Salim, Apa Arti Hidup, Al-Ma’arif, Bandung, tt, hlm 52.
[15]
Haji Agus Salim, Tauhid, Taqdir dan Tawakal, Tintamas, Jakarta, 1967,
hlm. 6.
[16]
“Kuliah Psikologi Agama” di Sekolah Tinggi Kateketik, Yogyakarta, 1971, Dra.
Ong Widhiarti, M. Sc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar